Penyelenggaraan otonomi daerah merupakan salah satu upaya strategis
yang memerlukan pemikiran yang matang, mendasar dan berdimensi jauh ke
depan. Pemikiran itu kemudian dirumuskan dalam kebijakan otonomi daerah
yang sifatnya, menyeluruh dan dilandasi oleh prinsip-prinsip dasar
demokrasi, kesetaraan dan keadilan disertai untuk kesadaran akan keaneka
ragaman kehidupan kita bersama sebagai bangsa dalam semangat Bhineka Tunggal Ika. Kebijakan otonomi daerah diarahkan kepada pencapaian sasaran-sasaran sebagai berikut :
- Peningkatan pelayan publik dan pengembangan kreativitas masyarakat serta aparatur pemerintah di daerah.
- Kesetaraan hubungan antara pemerintah pusat dengan PEMDA dan antar-PEMDA dalam kewenangan dan keuangan.'
- Untuk menjamin peningkatan rasa kebangsaan, demokrasi dan kesejahteraan masyarakat di daerah.
- Menciptakan ruang yang lebih luas bagi kemandirian daerah.
Desa atau yang di sebut dengan nama lain, selanjutnya di sebut desa
adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah
yuridiksi, berwenang untuk mengatur dan mngurus kepentingan masyarakat
setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui
dan/atau di bentuk dalam sistem pemerintah nasional dan berada di
Kabupaten/Kota, sebagaimana dimaksud dalam Amandemen UUD 1945.
Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa adalah
keaneka-ragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan
pemberdayaan masyarakat.
Pemerintah Desa dapat diberikan penugasan ataupun pedelegasian dari
pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu.
Sedangkan terhadap Desa, geneologis yaitu desa yang
bersifat administratif seperti desa yang di bentuk karena pemekaran desa
ataupun karena transmigrasi ataupun karena alasan lain yang warganya
pluralis, majemuk, ataupun heterogen, maka otonomi daerah akan diberikan
kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan dari desa
itu sendiri.
Sebagai perwujudan dari sistem demokrasi, dalam penyelenggaraan pemerintah desa di bentuk Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atau
sebutan lain yang sesuai dengan budaya yang berkembang di desa
bersangkutan, yang berfungsi sebagai lembaga pengaturan dalam
penyelenggaraan Pemerintah Desa seperti dalam pembuatan dan pelaksanaan
Peraturan Desa, Angaran Pendapatan dan Belanja Desa dan Keputusan Kepala
Desa. Di desa di bentuk lembaga ke masyarakatan yang berkedudukan
sebagai mitra kerja Pemerintah Desa dalam memberdayakan masyarakat desa.
Otonomi desa pada dasarnya mempunyai peranan yang strategis, ketika
saat ini kita semua sedang mengusung ide pembangunan yang berbasis
kerakyatan/masyarakat, pemberdayaan dsb. Desa adalah basis masyarakat
dengan segala problematiknya. Kemiskinan ada di desa, akan tetapi di
desa pula basis sebagai potensi bisnis ekonomi,
sebagian besar penduduk indonesia juga tinggal di desa. Dengan demikian,
slogan yang mengatakan membangun desa maka daerah dan negara maju bukan
hanya slogan pepesan kosong tanpa argumen yang valid. Dalam kerangka
konseptual pemikiran ini lah, maka konsep pengembangan otonomi desa
adalah alternatif yang pantas di evaluasi yang berperan strategis dalam sistem pertahanan nasional.
Otonomi pada hakekatnya menunjukan besaran kewenangan yang dimiliki
sebuah ruang lingkup wilayah politik dan administratif. Luas atau
sempitnya kewenangan yang di ukur dengan jumlah urusan akan menunjukan
besaran otonomi tersebut. Oleh sebab itu, besaran kewenangan ini akan
berhubungan dengan tingkat kapabilitas dalam mengelola kewenangan
tersebut yang di lihat pada level kreativitasnya. Sehingga ada
persepsian yang menyatakan bahwa otonomi akan mendorong kreatifitas yang
arti kata ada pemberdayaan di sana. Tanpa ada otonomi, jangan harap akan munculnya lahir kreativitas dan kapabilitas komunitas masyarakat lokal.
Namun, hal yang menarik jika kita mencermati perkembangan otonomi
desa, ternyata sesungguhnya masyarakat lokal khusus masyarakat pedesaan
telah lebih dahulu memiliki bakat kreativitas dalam mengelola berbagai
problematiknya dalam ruang lingkup otonomi aslinya yang kelihatan ada
pada pola adat-istiadat mereka. Hal ini tentunya tidak sama dengan
otonomi daerah pada level Kabupaten/Kota dan/atau Provinsi yang dari
segi waktu masih relatif lebih muda karena diberikan oleh negara sebagai
bentuk strategis kebijakan pemerintah.
Menyimak sejarah perkembangan otonomi desa, akan kelihatan kuatnya
komitmen untuk mengeyampingkan ruang lingkup pedesaan yang terus
berkembang dan berlangsung. Rezim otoriter dalam konteks desa sepertinya
akan terus berlanjut. UU No 32/2004 yang mengantikan UU No 22/1999 mungkin cerita yang dapat diangkat.
Pemerintah Desa berdasarkan UU No 32/2004 harus dikatakan berbeda secara mendasar dengan pemerintah desa menurut UU No 22/1999. Di mana pengaturan desa yang tergambar dalam UU No 32/2004
memperlihatkan kuatnya kontrol pemerintah dan menghilangkan
demokratisasi pemerintahan desa. hal ini mengingatkan pengaturan desa
dalam UU No 5/1975.
Selanjutnya menyangkut kewenangan desa, dapat di lihat bahwa terdapat
tiga sumber urusan pemerintah yang menjadi kewenangan desa sebagaimana
di atur dalam Pasal 206 UU No 32/2004 yaitu :
- Kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul Desa.
- Kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh daerah dan pemerintah.
- tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah Provinsi dan/atau Pemerintah Kabupaten.
Penjabarannya harus hati-hati, karena terjadi ketidak-sikronan terutama pasal 206 ayat (1) dengan pasal 200 UU No 32/2004 yaitu :
- Dalam pemerintahan desa di Kabupaten/Kota di bentuk pemerintahan desa yang terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
- Pembentukkan, penghapusan dan/atau pengabungan desa dengan memperhatikan asal-usulnya atas prakarsa masyarakat.
- Desa di Kabupaten/Kota bertahap dapat di ubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa Pemerintah Desa bersama Badan Pemusyawaratan (BPD) dengan PERDA.
Pasal 206 ayat (1) menjelaskan kewenangan desa
adalah urusan pemerintahan berdasarkan hak asal-usul desa. Jenis urusan
ini jelas bukan urusan karena penyerahan dari pemerintahan
Kabupaten/Kota. Padahal dalam pasal 200 dinyatakan
bahwa dalam PEMDA Kabupaten/Kota di bentuk Pemerintahan Desa. Istilah
PEMDA menunjukan penyelenggaraan pemerintahan yang bersumber dari asas
desentralisasi dan tugas pembantuan. Dengan demikian dalam Pemerintahan
Desa yang di bentuk ada urusan yang tidak bersumber kepada
pembentukkannya.
Menyangkut pengaturan sistem Pemerintahan Desa, terdapat beberapa kelemahan yang perlu dicermati, yaitu :
Pertama : Tidak diaturnya sistem pertanggung-jawaban Kepala Desa dalam batang tubuh UU No 32/2004.
Sistem pertanggung-jawaban Kepala Desa ditemukan di dalam penjelasan
umum. Kepala Desa pada dasarnya bertanggung jawab kepada rakyat desanya
yang dalam tata cara dan prosedur pertanggung-jawabannya disampaikan
kepada Bupati atau Walikota melalui Camat. Kepada Badan Permusyawaratan
Desa (BPD), Kepala Desa wajib memberikan laporan pertanggung-jawabannya.
Pengaturan semacam ini tidak tepat sasaran. Karena penjelasan pada
hakekatnya bukanlah norma, namun merupakan penjelasan dari norma
sehingga terhindar dari penafsiran gramatikal ganda. Hal ini yang perlu
dicermati yaitu pola laporan pertanggung-jawaban yang bersifat vertikal (ke atas) dan bukan horinzontal dan ke bawah (ke masyarakat dan BPD)
akan menimbulkan perubahan orientasi pengabdian Kepala Desa yang akan
lebih loyalitas kepada kehendak pihak atas ke timbang kepada rakyat yang
memilihnya dan menimbulkan dampak yaitu Pemerintahan Desa bisa
menjadi alat politik pencapaian kekuasaan dari Bupati/Walikota dalam
pemilihan umum Kepala Daerah secara langsung.
Kedua : Tugas dan kewajiban Kepala Desa dalam
memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa di atur lebih lanjut dengan
PERDA berdasarkan Peraturan pemerintah dan pasal 208 UU No 32/2004
Ketentuan ini cukup berbahaya mengingat UU tidak secara definitif
menentukan tugas dan kewajiban kepala Desa. pengaturan semacam ini
memberi ruang hampa pada pemerintah melalui peraturan Pemerintah. Di
lain pihak Badan Permusyawaratan Desa (BPD) mempunyai fungsi yang sangat
terbatas berdasarkan pasal 209 UU No 32/2004 yaitu
menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan
aspirasi masyarakat. dalam formulasi pengaturan yang semacam itu maka
akan sangat sulit terjadi keseimbangan dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Desa, karena kewenangan Kepala Desa sangat elistis dengan
menyerahkan sepenuhnya pengaturan kepada PERDA.
Badan Pemusyawaratan Desa (BPD) dalam UU No 32/2004
fungsi bersama Kepala Desa menetapkan Peraturan Desa dan sebagai
penampung serta penyalur aspirasi rakyat. Berbeda sama sekali dengan
Badan Perwakilan Desa (BPD) dalam UU No 22/1999, BPD
berfungsi mengayomi adat-istiadat, membuat Peraturan Desa, menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat desa, serta melakukan pengawasan
terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa meliputi pengawasan terhadap
pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa dan
Keputusan Kepala Desa.
mekanisme tata cara Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di dalam UU No 32/2004 yaitu anggota Badan permusyawaratan Desa (BPD) adalah respretatif
dari penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah
dan mufakat artinya tidak dipilih secara langsung akan tetapi dengan
ditetapkan dengan cara musyawarah. Mekanisme tata cara pengaturan ini
pada dasarnya menghilangkan prinsip nilai demokrasi di level wilayah
desa. Sedangkan di dalam UU No 22/1999 yaitu anggota
Badan Perwakilan Desa (BPD) di pilih dari dan oleh penduduk desa yang
memenuhi persyaratan. Pimpinan Badan Perwakilan Desa (BPD) di pilih dari
dan oleh anggota. Badan Perwakilan Desa (BPD) bersama Kepala Desa
menetapkan Peraturan Desa. Peraturan Desa tidak memerlukan pengesahan
Bupati/Walikota, tetapi wajib ditetapkan dengan tembusan kepada Camat,
Pelaksanaan Peraturan Desa ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa.
Selain itu, penggantian Badan Perwakilan Desa menjadi Badan Permusyawaratan Desa memunculkan kembali "sistem nepotisme",
kerabat-kerabat Kepala Desa menjadi kaum elit desa karena
keangotaannya ditetapkan secara musyawarah dan mufakat. Perubahan pola
ini dapat di anggap sebagai pengingkaran prinsip demokrasi langsung
terhadap kedaulatan rakyat.
Selanjutnya itu, mengenai aparatur Pemerintahan Desa dalam UU No 32/2004 terdiri atas Sekretaris Desa dan perangkat desa lainnya. Sekretaris Desa di isi dari Pegawai Negeri Sipil
yang memenuhi persyaratan. Kondisi ini pada dasarnya akan mengarahkan
Pemerintahan Desa ke arah birokratisasi yang pengabdiaannya pun akan
berbeda. Di samping itu akan munculnya kultur pegawai negeri sipil di
desa dan dapat diarahkan kepada mesin politik baru.
Di samping itu, secara politik kedudukan Sekretaris Desa dapat membuatnya juga loyalitas ganda,
satu sisi sebagai bawahan Kepala Desa maka ia harus tunduk kepada
Kepala Desa. namun di sisi lain sebagai Pegawai Negeri Sipil secara
otomatis maka ia juga harus tunduk kepada atasannya yaitu
Bupati/Walikota. Loyalitas ganda ini lah menyebabkan kewenangan desa
untuk mengatur dirinya sendiri menjadi hilang. Sebab masuknya birokrasi
intervensi pemerintah Kabupaten/Kota dapat dengan mudah masuk ke desa.
Jika demikian, peluang pola pembangunan yang sentralistik dan top down (dari atas) berpeluang untuk hadir kembali.
Dari uraian di atas penulis menyimpulkan beberapa hal yaitu :
- Mempercepat pemprosesan pembahasan dan pengesahan RUU Pemerintahan Desa menjadi UU Pemerintahan desa sebagai payung hukum manisfestasi prinsip demokratisasi perdesaan serta dalam sistem pertahanan nasional dalam kerangka NKRI.
- Kepala Desa pada dasarnya bertanggung jawab kepada rakyat desa yang dalam tata cara dan prosesdur pertanggung jawabannya disampaikan kepada Bupati/Walikota melalui Camat. Kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Kepala Desa wajib memberikan keterangan laporan pertanggung jawabannya dan kepada rakyat desa untuk menyampaikan informasi pokok-pokok pertanggung jawabannya akan tetapi tetap memberi kesempatan kepada masyarakat/rakyat desa melalui Badan Permusyawaratan Desa (BPD) untuk menanyakan dan/atau meminta keterangan lebih lanjut terhadap hal-hal yang bertalian dengan pertanggung jawaban yang di maksud.
- Mempercepat pembangunan perdesaan dalam rangka pemberdayaan masyarakat terutama para petani dan nelayan melalui penyediaan prasarana, pembangunan sistem agrobisnis industri kecil dan kerajinan rakyat, pengembangan kelembagaan, penguasaan teknologi dan pemanfaatan sumber daya alam (SDA).
0 comments